PEKALONGAN – Bagi sebagian besar orang eceng gondok dianggap
sebagai tanaman tak berguna dan hanya menjadi biang terjadinya banjir karena
selalu mengotori sungai. Namun di Desa Pakumbulan, Kecamatan Buaran,
Pekalongan, ada sekitar 100 perajin memproduksi kerajinan tenun berbahan eceng
gondok yang menjadikan berkah tersendiri bagi warganya.
Saya telah menemui salah satu
pengrajin eceng gondok,yaitu Bapak Surono sebagai pengelola usaha tersebut,
kerajinan tenun ini sudah turun temurun dilakukan di Desa Pakumbulan.
Dalam pembuatannya, Surono masih menggunakan metode
tradisional, yaitu menggunakan alat tenun ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin), alat
yang beoprasi dengan tenaga manusia.
Pembuatan kerajinan eceng gondok melalui beberapa proses
sederhana. Pertama, eceng gondok yang baru diambil dari sungai di jemur hingga
kering. Kemudian batang eceng gondok yang telah kering dibentuk
lembaran-lembaran kecil. Lembaran batang eceng gondok yang telah mengering
inilah yang nantinya dianyam dan dibentuk menjadi kerajinan sesuai yang
dikehendaki.
Produksi tenun Surono ini dikerjakan total oleh 60 orang
karyawan yang tersebar di desa Pakumbulan. Dalam satu hari, di satu tempat
usaha bisa membuat minimal sampai 15-20 meter yang dilakukan manual oleh tenaga
manusia.
setelah jadi per meternya, tenun eceng gondok ini lalu
dibuat berbagai macam bentuk kerajinan, berupa hiasan dinding, sandal, taplak
meja, batal kursi dan dompet.
Untuk harga per meternya, Surono menjual dengan harga Rp
6.000,- /m untuk tenun yang masih polos warna alam, dan untuk yang sudah
diwarnai dengan sablon, Surono menjual Rp 12.000,-/m.
Pemasaran untuk tenun eceng gondok milik Surono ini masih
lingkup dalam negeri, dan mengikuti pesanan dari perusahaan di kota-kota besar,
sehingga penjualannya pun dianggap kurang maksimal.
Surono berharap kepada pemerintah, untuk dapat membantu
dalam pemasaran dan pengelolaan agar kerajinan eceng gondok ini bisa menjadi
kerajinan yang diunggulkan selain kerajinan batik di Kota Pekalongan.
(Handry Prasodjo)